Kamis, 15 Juli 2021

Tuk lami

Animasi


Ado Tuk Lami?" tanyanya sambal jemari kirinya memainkan kunci mobil dan tangan kanan masuk ke kantong celana. Ia begitu gagah. Bahkan tampan seperti bintang filem. Tak lagi bujang kurus yang dulu sering kena cemooh dalam kampung sebelum pergi merantau. Rambutnya menjuntai di kening, dan bagian sudut matanya agak gelap. Jika Rafi Ahmad matanya sembab mungkin karena kurang tidur shooting terus, dia ini, Burin Tobieng, entah kenapa,....

Kualihkan pandang ke mobil mengkilapnya. Veloz metalik baru. Kuberpindah lagi ke roman mukanya. Bibirku akan bergerak hendak menyampaikan tentang Tuk Lami, tapi ia sudah menyambung tanyanya,"Tuk Lami, lai dirumah?"

Tuk lami agaak


Ia berjalan ke arahku. Kemejanya bergaris-garis panjang tangan. Celananya berbahan jean. Aku akan menjawab lagi, bah wa Tuk Lami sudaah tiada, ketika hidungku diserang bau parfum yang indah. Yang tak pernah tercium di pekan Sabtu atau pekan Kamis. Atau bahkan di pasar Payakumbuh. Bagai melati bercampur mawar. Lembut tapi menyungkup ke syaraf otak paling dalam. Terkesima.

"He iko Nafi kan, paja nan dulu mencongkong makan limaumanis depan surau Pelita?" ujarnya mendekat ke pintu teras. "Hak-syiiiimmm!!!!" lelaki tampan memegang kunci mobil itu bersin sambil mengarahkan wajahnya ke samping. Lalu segra mengeluarkan sapu tangan dari kantong kanan, dan melap hidungnya. Ingus jernih bergelintin di atas kumis tipisnya. Entah, aku tak tau pasti, yang dipegangnya itu sapu tangan atau handuk kecil, sebab terlihat rada tebal, dan warnanya pink seperti hellokitty. Eh iya, aku, belum menjawab satupun tanyanya, 

Begitu dekat, ia mengulurkan tangan. Bersalaman. Ternyata tangan orang kota itu lembut, dingin, dan tak kasar. Beda dengan jemariku yang terbiasa memegang cangkul, parang dan arit serta terbiasa memegang batang pisang, batang padi dan sabut kelapa.

"Saya ingin bertemu Atuk. Saya mau bercerita panjang dengan beliau..." katanya, seperti sangat bersahabat.

"Atuk sedang pergi jauh," jawabku. BUrin itu tersentak. Bolehjadi ia memang belum tau, sebab kata orang, rantaunya jauh di pulau Dewata. Malah ada yang bilang, dia merantau cino, artinya hilang dan tak pulang-pulang. Tapi kenapa pula dia hendak bertemu dan bercerita dengan Atuk? Bukankah Atuk bukan orang penting, semacam penghulu, atau perangkat desa atau apalah-apalah? Atuk hanya guru mengaji bagi anak-anak sekitar kampung di surau, yang lantai suraunya dipenuhi onggokan padi di sudut ruang. Artinya selain guru mengaji, beliau adalah petani tulen. Tubuh beliau hitam kecil, tapi membajak sawah dengan bantuan sapi ternak, adalah aktifitas biasa. Dan maaf, bukankah dulu ketika Uda Burin ini remaja, ikut mengaji di surau, ia sering tak datang, minggat dan pernah pula ketauan mencuri ayam yang dipelihara Atuk? Buah salak Atuk di pinggir sawah, bukankah dia juga yang sering nyolong

Yang juga teringat tentang Burin adalah ketika ia terpeleset melompat got pembatas halaman surau dengan kebun di bagian barat. Ia tidak menyangka bahwa jika tangannya meraba telur ayam yang sedang dierami induknya, nun di dalam sangkak bambu berjerami, ia akan segera digerayangi sejenis serangga kecil yang menggigit gatal. Dan ia juga tak mengira bahwa induk ayam yang mengeram akan mematuk dan 'berteriak' keras jika ada makhluk asing yang mengganggu. Burin sudah menggenggam dua telur, tapi ia ingin tiga dan empat,...lalu tangannya terasa pedih oleh hama dan patukan induk ayam yang heboh tiba-tiba. Burin segera membawa dua telur saja di genggaman dan lari. Lintang-pukang. Melompat got arah ke kebun bawah pohon bambu. Kakinya terpeleset dan telur tercampak. Tangannya menggapai. Dagunya tersangkut. Tapi ia tak hendak memekik minta tolong. Takut ketauan ia 'menyelamatkan' telur ayam yang tengah dierami. Tuk Lami, yang ayamnya diusik, hanya memandang wajahnya dengan lurus. Memegang bahunya. Mengusap kepalanya. Tanpa aura marah. Tanpa sinar mata benci. Lalu Burin tersungkur jatuh ke pangkuan Tuk Lami, minta maaf.....

Wahai teman, itu tentu bukan satu-satunya kejadian tentang Burin yang kuingat. Peristiwa lain adalah ketika shalat magrib di surau berjamaah, Tuk Lami memimpin jadi imam. Suara beliau khas. Lafaz alfatihah dan ayat-ayatnya mantap tebal. Yang pernah menjadi makmum, tentu tau. Bagi Burin lafaz dan tajwid tak penting. Bagi Burin yang penting adalah berteriak dari saf belakang ketika orang - orang serentak menyebut 'Aaamiin.." di ujung alfatehah. Burin malah spontan menjawab, "Amin ka poken Sotuuuu...".... Boleh jadi yang dimaksud Burin adalah Amin Simpang, yang biasa bersepeda ke pekan keramaian membawa ayam untuk diperdagangkan.... Namun aksinya itu membuat beberapa anak lain, terpingkal ketawa, tapi segera ditahan karena ini sedang shalat. Aduh, Burin!

Untungnya mulut Burin tak langsung di pukul Tuk Lami seusai shalat. Ia malah dipanggil setelah mengaji selesai sehabis Isya. Dan ia hanya beroleh nasehat, bukan jentikan jemari di telinga, atau pukulan rotan di kaki...

"Masuklah Uda dahulu. Kata orang Uda merantau jauh. Kapan Uda pulang? Sudah 'menjadi orang" Uda tentu kini?" saya mempersilakan dia masuk. Melebarkan buka daun pintu. Dan menggeser kursi tamu yang terbuat dari rotan lusuh kuning.

"Tapi Tuk Lami lai sadieng di rumah kan? Atau..." dia mengekspresikan roman muka ragu dan kawatir.

"Iyo. Beliau sudah dahulu, meninggalkan kami. Allahummghfirlahu warhamhu..."

"Oh. Ha kan betul firasatku..." ujarnya terhenti. Tapi mungkin karena rindu dengan Tuk Lami, atau ingin mengenang surau tempat dulu ia 'berkiprah' semasa kecil, Burin akhirnya masuk dan menempatkan badan besarnya di kursi. Bunyi rotan ditekan puluhan kilogram, berdenyit meliuk. Dan ia kembali berucap,...

"Lah lamo den marantau. Lah jauah jalan ditempuh. Tapi kenangan ke surau ini, masih tersisa. Bahkan terkadang menggeliat keras,..."

Saya belum menanggapi dengan kata-kata. Namun perhatian saya seriuskan pada mimik dan gestur bola matanya. Merasa didengarkan, ia kembali menyambung.

""Beban hidup sekarang makin berat. Anak-anak banyak kebutuhan. Ibunya sudah pergi. Eh, entah ibunya yang pergi, entah saya yang menghindar. Setelahnya, den lah kawin ssekali lagi,...tapi tak lama. Dia meninggal ketika melahirkan anak. Seterusnya, saya membesarkan bayi dengan centang parenang. Menikah lagi, tapi tak pula lama umurnya. Berpisah. Kawin, pisah, kawin-pisah, bahkan akhirnya ada yang seumur jaguang saja lamanya......"

Dia berhenti. Tapi saya tak hendak mengalihkan tatapan. Tetap serius mendengarkan. Dengan mimik yang empati.

"Kini sudah tak jelas lagi, apakah saya ini statusnya bekeluarga atau tidak. Saya hibur badan buruk ini dengan bernyanyi. Di kafe. Di kondangan. Dimana saja. Juga sering menjadi MC di acara-acara. Lalu terlupalah saya dengan semua pelajaran Atuk. Tak ada lagi sembahyang. Apalagi mengaji. Ah, saya ini sudah hitam legam!" lanjutnya. Saya tetap memandangi wajahnya. Oh ...



Mungkin karena saya belum menanggapi, Burin beralih fikiran ke Tuk Lami. "Baa koba Atuk sebelum meninggal? Sakik?" tanyanya.

"Iya." saya mengangguk. "Kondisi penuaan. Demam. Kehilangan tenaga. Mulai tidak mau bicara. Ditidurkan telentang di ruang tidur keluarga. Uda Burin kan ingat, Beliau biasanya jika beraktifitas membaca, menulis, merekam pengajian di kaset taperecorder, di bilik Beliau. Bilik itu tak sembarang orang yang boleh masuk. Di dalamnya Beliau tidur beralaskan kulit kambing disamak berlapis kasur. Di hari meninggal itu beliau telentang, dikelilingi bapak dan etek. Kemudian Beliau pergi dengan tenang. Bapak menutupkan matanya yang setengah terbuka. Lalu sejenak Bapak berdoa dengan air mata mengalir. Begitulah, Beliau dimandikan, dikafani dan dishalatkan serta ditanam di kebun depan rumah, belakang lumbung padi…"

"Jadi indak ado sakik namanya tu ya?"

"Indak. Terakhir itu beliau masih minum teh yang dibuat pekat. Kata mantri kesehatan, bisa membantu jantung dan aliran darah. Tapi seberapalah kekuatan teh pekat hangat melawan malaikat?" kataku.

"Oooh,.. iyo. Iyo. " Uda Burin mengangguk-angguk, dan meneruskan kenangannya. "Den banyak membuat susah beliau dulu. Dinding surau, den coret-coret dengan arang. Burin = Era, itulah diantara tulisan den dulu, ha ha ha..." ia tertawa….

Era itu, anak tetangga sebelah, yang pulang dari Jakarta dengan bapaknya liburan. Diantara saudara mereka yang banyak, mungkin Era itulah yang paling jelita. Hingga Uda Burin termimpi-mimpi. Tapi bapak uni Era itu guru silat. Badannya kekar. Uda Burin masih kurus dan remaja tanggung. Ngeri. Lalu ketidakberdayaannya, dia lampiaskan dengan arang di seantero dinding samping surau. Tuk Lami geleng-geleng kepala,...

Burin kemudian memasukkan tangannya ke kantong, lalu mengeluarkan rokok. Mengambil mancis korek api dan mengeluarkan sebatang sigaret. Aroma sigaret itu manusuk hidung. Rada harum menyengat. Tapi bagi saya, phobia pada asapnya yang segera akan mengepul, membunuh, segera mengerinyitkan kening dan membuang muka.

"Ang indak merokok?" tanyanya.

"Tidak. Belum..."

"Pasti dilarang bapak dan gurumu kan?"

"Ho-oh. Tapi badan saya memang taksesuai dengan udut. Waktu menonton sandiwara di SD dulu, pernah coba gudanggaram sama Igul di tunggul pohon kelapa, belakang pentas. Besoknya saya demam batuk. Kata mantri bu Chadijah, paru-paru saya alergi.."

"O iyo. Igul. Dima beliau kini?"

"Ado. Di GUguk. Kami libur sekolah. "

"SMA Limbonang?"

"Indak. SMPP, Payakumbuah"

Diam sebentar. Burin mengembalikan rokok ke kotaknya dan menyimpan ke saku baju. Sepintas terlihat tato di dekat pangkal ibu jarinya. Gambar bunga mawar, merah-hitam.

'Tak usahlah merokok dekat anak-sekolah. " katanya sambil senyum. Kecut! Saya tau, dia sedang menahan candu....

"Dosa yang paling besar ke Tuk Lami adalah saat saya teriaki di sawah jalan ke Guguk. Dia kulihat berjalan dengan Tuk Awi Manso, membawa payung dikepit dan tas berisi buku mengaji. Memakai sweater warna abu-abu gelap. Berpeci hitam. Dengan gerakan kaki yang khas gaya beliau. Waktu itu aku mulai jarang ke surau. Sudah semakin nakal. Entah setan apa yang membisikkan aku, sambil mengangkat lukah belut yang jarang tertangkap isinya, kusoraki beliau; Woooi Tuk Lami, olah tih mancari pahalo juga, menantulah lagi yang akan dicari!!!"

Diam sebentar. Burin mengenang-ngenang.

"Tuk Lamimu itu langsung terhenti langkahnya. Dipandangnya saya berdiri di pematang dekat pinggir Batang Namang. Lama. Aku tertawa berasa menang. Tapi kulihat dia terus menatapku. Aku berusaha tertawa dan berjalan menjauh. Takut, jika nanti malam ia menyampaikan ucapanku ke bapak dan ibuku. Tapi nyatanya tidak. Dia mungkin menahan hatinya, sambil menunduk dengan mata berlinang. Lalu melanjutkan langkah kakinya menuju Guguk. Aku ini betul betul kurang ajar. Itulah baru aku melihat tuk Lami tergado-ok. Setelahnya, aku tak betah lagi di sini, dan pergi merantau..."

Pembaca, sungguh Tuk Lami tak pernah menyampaikan perangai Burin yang satu itu kepada kami. Dia kini mungkin tenang di syurgaNya.

"Onde iyo! lah 'maota korieng' saja kita dari tadi. Ada pisang kolieng Amah di belakang. Saya ambil dulu ya!"

"Ndak usah! Indak usah. Dek saya nan perlu itu merokok dan mengopi. Duit habisnya untuk rokok inilah. Kadang mengopi bisa tiga empat kali sehari. Sudah sampai disini saja, hati saya sudah terobati,.... indak usah repot-repot!"

"Sebenarnya, ada murid Atuk yang kata orang-orang disini mirip sekali pembawaannya dengan Atuk. Kalau dia memberi ceramah di masjid, atau menyampaikan khutbah, dia disebut orang "Ongku Lami Mudo".

"Ongku Lami Mudo? Siapa itu?"

"Satu-satunya murid Atuk yang tak melanjutkan sekolah di MAN atau IAIN. Ia memilih sekolah di pesantren Padang Panjang, lalu karena prestasinya bagus, terkirim ke Arab Saudi kuliah!"

"Ooooh, anak Sutan Mustaqim ya?"

"Bukan. Asal usulnya dari Sungai Rimbang, Yatim piatu, lalu dibesarkan Tuk Lami disini. Kini ia sudah bekeluarga dan tinggal di Lebuh Simpang. Sebagian orang menyebutnya Oji Mudo, karena ketika menuntut ilmu di Timur Tengah itu, ia sekalian menyempatkan diri ibadah haji!"

"Siapalah itu gerangan ya?"

"Namanya Syahriyal. Oji Mudo Syahriyal… Anak-anak juga senang jika ia memberi pelajaran di masjid. yang tua-tua juga sayang sama dia. Sekalipun kaji yang dia bawa kadang berbeda, ia tak berkeras bersiraruak, tapi mencari jalan keluar dengan berbagai hadis."

"Waang tau rumahnya? Betul Tuk Lami sayang dengan dia? Antarkan aku kesitu malah!" pinta Burin.

Saya mengangguk. Dan kami naik mobil veloz bagus menuju ke hilir Lebuh Simpang, sambil mendengarkan lagu-lagu koplo dari speaker mobilnya. Aroma asap rokok dalam mobil, tercium jelas. saya sebenarnya tak betah, tapi apa boleh buat. Hitung-hitung menolong Engku Muda Tuan Burin, he he.....

Tak ada yang istimewa dari bentuk rumah Oji Mudo Syahriyal. Bagai pondok lurus saja. Lalu teras atapnya disambung dengan pelataran tempat istrinya mendidik anak-anak sore hari, PAUD. Sekeliling rumahnya dipagari tumbuhan bercampur kembang. Kembang biasa, bunga lilin, bunga matahari, kembang goyang dan aggrek merpati. Lalu bayam, terung, kacang panjang serta beberapa batang pisang di belakang dan samping. Motor bebek mirip vespa parkir di halaman. Labu siam yang buahnya banyak lebat, menggantung di sudut belakang. Kolam berisi ikan lele, luas membentang. Itu saja.

Syukurnya, Oji Mudo sedang ada di rumah saat kami datang. Hingga Uda Burin bisa menyampaikan keluhkesah hatinya secara langsung........... Jangan-jangan dia akan dirukiyah!

Tapi tidak. Oji Mudo ternyata bukan tipe ustadz yang memilih rukiyah. Ia mendekat duduk ke Burin dan mencoba menautkan hati. Saya melihat dengan jelas perbedaan wajah kedua orang itu. Burin dan Oji Mudo. Tampan bak bintang filem dan biasa-biasa saja. Rambut menjuntai di kening dan rambut tersisir rapi ke samping. Mata yang tidak fokus dan mata berbinar yang penuh semangat. Aroma rokok campur parfum berbanding aroma sabun mandi biasa.

"Manusia itu memang tempat kesalahan, kekhilafan,..." ujar Oji Mudo sambil menempelkan telapak tangannya ke punggung tangan Burin. "Dan Yang Maha Pengasih itu, senang sekali jika kita kembali berbalik padaNya, setelah terlanjur banyak dosa!" sambungnya.

"Aku ini bukan lagi banyak dosa Oji. Aku ini syetan jahanam...!" ucapnya lirih. Suaranya parau. Oji Mudo melirik pada saya, dan saya mengerti sertamerta beranjak menunggu di luar, di bangku teras. Walau masih terbayang sekilas, tubuh Burin seperti terguncang-guncang dimasuki energi Oji MUdo....



Tiba-tiba telinga saya mendengar suara meraung, tapi kok tidak mirip Burin? Lalu parau marah," Oji Pantek! Lai tau ang indak akan manang

malaikat malawan iblis di dunia ko do!!!" Diam sebentar. Diikuti galosoh-posoh bunyi suara gelas air minum mineral melayang ke dinding. Tapi tak ada suara dari Oji Mudo. "Den bunuah ang Oji. Den bunuah ang kini juo!!!" Suara parau Burin, atau mungkin bukan Burin..carut marut keji yang tak usahlah dituliskan di sini., terdengar lagi. Saya segera hendak masuk kembali, mendengar ancaman itu. Tapi saya segera ingat, Oji Mudo adalah pemain silat handal ketika belajar di pesantren Padang Panjang. Teman-teman dia sesama santri pasti tau itu, apalagi ustad-ustadnya. Bukti nyata dari kepiawaian Oji Mudo adalah saat saku celananya diraba copet di terminal travel Ulak Karang, saat hendak berangkat ke Saudi. Dia berkelit memutar badan, dan copet itu terjilapak ke aspal. Kakinya dia simpai dengan telak. Yang tak terduga adalah, copet itu ternyata ada temannya. Lalu laga berubah menjadi dua lawan satu. Itupun tak berlangsung lama. Sebab Syahriyal, sudah mematri niat dalam dada, dia hendak ke Saudi menuntut ilmu di Madinah, tempat mana Rasul saw dulu mengajar membimbing umat. Mendekat ke Tuhan. Terus, akan dia biarkan dua cecunguk ini menghalanginya? La! No! Hasilnya adalah copet yang satu terlolong menjerit dan yang satunya lagi lari lintang pukang memegangi anunya yang entah masih normal atau sudah pecah! Untung ada segera apak berseragam menengahi. Dan Syahriyal segan dengan seragamnya itu.

Nasehat ustadnya di Padang Panjang, adalah jangan sombong dan jangan emosi. Itu sebabnya, Syahriyal cepat dingin. JIka tidak, tentu batang leher copet yang satu ini, dimakan tumitnya dari atas ke bawah, dan bisa diprediksi akibatnya; pingsan atau muntah-muntah...

Saya tak lagi mendengar lolongan burin. Sudah selesaikah ia di pegang Oji Mudo?

"Masuaklah Nafi" terdengar Oji memanggil kembali. Dan saya melangkah masuk. Astaga, gelas air mineral bertebaran, sedangkan Burin tertelentang mendengkur. Keletihan. Yang diluar dugaan saya adalah ingus jernihnya, meleleh lagi di kumis. Tidak, tak hanya ingus, saya juga mencium bau pesing dari celananya, bahkan bau feses. Ya Tuhan, dia BAB dan kencing di celana?

Oji Mudo keluar dari kamarnya membawa kain sarung bersih. Terlipat rapi. Juga sarung tangan yang segra dia pakai. Firasat saya jadi tak enak. Akankah kami melakukan pembersihan bagai memelihara bayi balita? Saya memilih mengambil kain sarung terlipat dari tangan Oji Mudo. Membukanya. Lalu melipatnya lagi. Supaya terlihat ada kerjaan, dan biarlah Oji Mudo yang membersihkan E-ek Burin. Kencingnya juga. Sementara dengkur Burin makin panjang dan lelap. Saya, maaf, belum pernah memelihara bayi. Jadi sungguh berat bagi saya, bagian kerja ini. Biarlah Oji sajaaaaa....

Jika ingin saya berdoa, di paragraf ini, maka doa saya adalah wahai Tuhan, anak-anak yang memelihara orang tuanya berbulan bahkan bertahun sampai meninggal, bagai merawat bayi dengan segala beban hidup yang dia tanggung, sungguh ya Allah, tak perlulah mereka Engkau hisab lagi di Padang Mahsyar, terbangkan sajalah mereka dengan kereta kencana, langsung ke haribaan syurgaMu, Jannatun Naiiiim....

Yang agak kurang masuk akal bagi saya adalah ketelatenan Oji Mudo mengaduk-aduk feses di dalam toiletnya , hingga ia menemukan sebuah logam metalik bulat sebesar peluru kacang-kacang sepeda. Dengan wajah senyum, ia bawa benda itu ke hadapan saya, sambil ngomong,"Alhamdulillah,...Nafi. Keluar!" Belum habis bingung saya , ia sudah menemukan lagi ikat pinggang tali benang di badan Burin yang simpulnya berupa kantong kain teramat kecil yang entah berisikan tulisan arab bermakna apa…. Dompet Burin pun diperiksa Oji Mudo, tapi tak ada ketemu apapun selain kartu-kartu dan duit. Oji Mudo mengumpulkan temuannya dan membuangnya ke tempat sampah, boleh jadi hendak dia bakar. Maaf, ilmu saya belum dan mungkin tak sampai kesana.

Setelah badan Burin dibersihkan, saya memasangkan kain sarung. Bismillah, semoga niat Uda BUrin terbebas dari perasaan antah-berantah, tidur tak nyenyak makan tak enak, otak pusing dada terbakar, hilanglah semuanya. Sehat! Sembuh!!!

Menunggu orang tidur keletihan mendengkur itu, bosan juga. Hingga akhirnya saya pamit saja sama Oji Mudo. Biarlah saya berjalan kaki saja arah ke mudiak. Sebab Engku Burin, entah kapan akan bangun. Kalaupun bangun, kan belum tentu juga bisa langsung pulang,...

Dugaan saya betul. Kabarnya Uda Burin ditahan Oji Mudo untuk tinggal dulu di rumahnya, di kamar samping. Makan tidur shalat mengaji, semua ia ikut Oji Mudo. Bahkan ia mengekor saja sama Oji Mudo jika pergi mencari siput dan Alo-alo ke sawah. Dia kembali belajar melatih keseimbangan otaknya berjalan di pematang sempit. Sebab kabarnya, ini kata orang-orang, ia sempat minta dibelikan sabu-sabu ketika terbangun dari tidur ngoroknya, dan dimandikan oleh Oji Mudo dengan menyiram kepalanya dengan air dingin sambil membaca Al-Fatiha.

Berhari, berminggu, bahkan sudah sebulan ia magang dengan Oji Mudo. Wajahnya mulai terlihat segar. Shalatnya khusuk, dan mengajinya kembali terdengar sendu. Sepertinya ia benar-benar ingin 'hijrah'....

Tuhan pun tak mengelakkan kedatangan hambaNya, sehitam apapun ia tersesat. Buktinya, ketika Oji Mudo memberi tausiah pengajian di masjid, yang dihadiri orang-orang tua, bapak-ibu, Burinpun duduk di samping dengan menunduk. Dan tak dinyana, Oncu Timah Bendang, mendatanginya, selesai pengajian. Oncu Timah, adalah ibu Silva, istri Burin dulu. Di kampung, kabar kepulangan Burin, dan magangnya dengan Oji Mudo sudah tersebar luas. Oncu Timah, merunduk memakai mukena, dan menyapa,"Nak Burin, baa koba ang nak?" katanya tulus. Demi memandang wajah Oncu Timah, di dalam masjid, di depan orang banyak, BUrin terarau. Ia menyambut tangan Oncu Timah dengan menggigil, dan menjatuhkan wajahnya ke kaki Tek Timah. "Ayeeeiiii, ampuni den diiiiih" ratapnya. Oncu Timah memeluk kepala Burin dengan tangannya yang keriput, dan sesudah itu , kita, sudah bisa menebak apa yang akan terjadi...

Oh iya, Burin memberi tak kurang sepuluh juta ke Oji Mudo, sebagai terimakasih, tapi ditolak Oji. Ia berikan ke panti asuhan Yatim piatu Muhammadyah, Kubangtungkek.

Banyak maaf, tama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar