EFRINALDI
AYAHKU PAHLAWANKU
BAGIAN I
BENIH-BENIH MIMPI
Geliat kehidupan mulai ketika ayam berkokok. Ibuku menyalakan kompor minyak tanah. Ibu merebus air. Ibu membangunkan aku yang masih berusia lima tahun. Ibu memandikan adikku yang berusia satu tahun.
Kakakku, laki- laki baru datang dari rumah nenek sebab kakak tidur di rumah nenek semenjak kakakku mulai diajarkan nenek mengaji di rumah nenek. Aku, kakak dan ayahku pergi ke baruah, di pemandian mata air di lurah Baruah Gadiang. Kakakku mandi sendiri. Aku dimandikan ayahku.
Ayah mengambil air di kolam khusus berlokasi di atas kolam pemandian. Kolam itu adalah kolam yang diperuntukkan hanya untuk mengambil air yang dibawa pulang untuk keperluan memasak.
Aku, kakak dan ayahku pulang ke rumah. Ibu telah menyediakan kopi untuk ayahku di meja makan. Ayah minum kopi. Kakakku menyemir sepatu ayah. Aku main- main saja.
"Nasi goreng telah masak. Ayo makan!" seru ibuku.
Kami semua makan nasi goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Nasi goreng hangat itu langsung habis untuk sarapan kami semua.
Ayahku dan ibuku berkemas hendak pergi bekerja sebagai guru di SMP Dangung-dangung. Kakakku berkemas hendak sekolah di SD No. 1 Mungka dekat rumah kami. Tinggalllah aku dan adikku di rumah diasuh uwakku.
***
Ayahku pulang dari mengajar jam satu siang. Beliau mengganti bajunya dengan pakaian rumah. Beliau shalat zuhur dan kemudian makan siang.
Ayahku mengelus kepalaku. Tiba-tiba beliau menyadari bahwa rambutku telah panjang. Beliau pergi ke dalam kamar mengambil alat cukur.
"Sinilah, Nak! Ayah akan memangkas rambutmu!"
Ayah membuka bajuku dan mulai memangkas rambutku. Sebentar saja rambutku telah rapi. Ayah memang pandai memangkas rambut. Beliau mengikuti keahlian kakekku dalam memangkas rambut.
Kakek dulu menjadi tukang pangkas rambut di Mekah. Beliau pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu agama selama tujuh tahun.. Untuk membiayai kehidupannya di sana beliau menjadi tukang pangkas rambut.
Bakat memangkas rambut kemudian juga diwarisi pada kami anak-anaknya. Kami bersaudara saling memangkas rambut, sehingga menghemat biaya pangkas rambut. Kakakku bahkan kemudian menjadi tukang pangkas rambut bagi anak-anak sekitar rumah kami dengan bayaran relatif murah.
Keahlian memangkas rambut juga diajarkan ayahku pada murid-murid SMP Dangung-dangung. Waktu itu SMP Dangung-dangung mengajarkan pada murid-murid berbagai keterampilan seperti memangkas rambut, bertukang, menjahit, montir sepeda motor dan lain-lain selain pelajaran standard. Ketermpilan yang mengagumkan adalah murid bisa membongkar sepeda motor dan memasangnya lagi dan sepeda motor bisa jalan lagi dengan baik. Kala itu SMP Dangung-dangung menjuluki dirinya sekolah pembangunan. Julukan itu membuat SMP Dangung-dangung bergaung namanya se Asia Tenggara dan sering dikunjungi orang untuk studi banding.
Sehabis memangkas rambutku, ayah berkata,
"Ayah tidak berharap anak-anak ayah menjadi tukang pangkas rambut nantinya, melainkan semuanya memiliki keterampilan lebih hebat lagi. Kalau hidup susah di perantauan, dari pada minta minta-minta, lebih baik bekerja, walau pun menjadi tukang pangkas rambut. Tetapi ayah berdoa kalian semuanya nanti menjadi sarjana."
***
Setelah memotong rambutku, ayah pergi tidur siang. Sejam kemudian ayah bangun. Ayah memanggilku,
"Epi…poi ka poghak wak le."
Ayah mengajakku ke kebun.
"Jadih, Pa!" jawabku mengiyakan.
Aku dan ayah pergi ke kebun di belakang rumah. Ayah membawa cangkul, tembilang, parang, sabit dan kantong plastik memakai gerobak. Aku mengikuti beliau.
Ayah menggali lubang dengan diameter sekitar setengah meter sedalam sekitar 60 cm memakai cangkul dan tembilang. Setelah selesai lubangnya, ayahku memintaku mengambil abu dari unggun di dalam kebun.
"Pi, poi tayiak abu di unggun agak sa kantong plastik ko a!" ujar ayahku sambil menyodorkan kantong plastik hitam.
Aku mengambil abu, sementara ayah mengambil anak pohon pisang dari suatu rumpun pohon pisang.
Ayah membawa sebuah anak pisang ke dekat lubang yang telah dibuat. Dipotongnya akar anak pisang yang menonjol dengan parang.
"Pi, mari kita taburkan abu ke pangkal pisang!" ujar ayah sambil memulai menaburkan abu ke pangkal anak pisang. Aku mengikuti cara ayah sehingga seluruh akar anak pisang telah tertaburi abu.
"Sekarang kita tanam anak pohon pisang ini." ujar ayah
Ayah memasukkan pangkal anak pisang ke lubang. Ayah menyuruhku memegang pohon pisang agar tidak tumbang. Kemudian, ayah mulai menimbun lubang dengan tanah memakai cangkul.
Selesai sudah acara menanam pisang. Kemudian ayah menyalakan unggun di tengah kebun. Setelah api menyala, ayah menebas semak di kebun memakai sabit. Ayah menyuruhku mengumpulkan tanaman hasil tebasan ke unggun.
Ayah kemudian duduk di atas tunggul kayu tidak jauh dari api unggun. Beliau menyalakan rokoknya. Terlihat ayah sangat menikmati rokoknya.
Aku kemudian sibuk menangkap belalang. Belalang yang tertangkap aku ambil kakinya dan aku panggang di bara api. Setelah terpanggang aku makan kaki belalang itu. Ayahku seperti tidak memperhatikan aku. Tetapi aku yakin ayahku pasti memperhatikan aku bermain api, waspada kalau api unggun membahayakan aku.
***
Sejak pagi mobil angkutan banyak ke kampungku. Mengangkut orang-orang ke kota Payakumbuh. Hari itu ada acara pacuan kuda di Kubu Gadang Payakumbuh. Mobil angkutan dari kabupaten lain juga beroperasi ke Kabupaten 50 Kota. Klakson mobil terdengar sepanjang jalan kampung. Ada juga klakson berupa melodi indah terdengar.
Aku, kakakku dan ayah berangkat ke Payakumbuh. Kami menuju ujung jalan Sesampai di ujung jalan, bertemu jalan raya Mungka-Payakumbuh. Banyak orang di setiap simpang jalan. Berpakaian bagus tidak seperti biasanya. Mereka sama-sama mau menonton pacuan kuda.
Oto Bahagia datang dari arah Barat. Ayahku menyetop bus. Ayahku tidak bertanya ke mana tujuan bus. Pastilah semua mobil angkutan menuju Payakumbuh hari ini. Sehari-hari Oto Bahgia bertrayek Mudiak Payokumbuah-Padang, namun hari itu tidak ada orang menuju Padang, semua akan tumplek ke Payakumbuh, bahkan orang dari Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar ke Payakumbuh saja hari itu.
Sampailah di lapangan pacuan kuda Kubu Gadang. Kami antri membeli karcis masuk arena pacuan kuda. Beruntung kami dapat duduk di balkon. Pemandangan menjadi lapang untuk menyaksikan pacuan kuda.
Acara dimulai dibuka oleh Bupati Kabupaten 50 Kota. Serombongan orang berkuda kemudian mengarak piala yang akan diperebutkan hari itu oleh kuda-kuda bersama joki-joki andalan. Riuh sorak penonton.
Pacuan dimulai. Lima kuda berlomba di babak pertama ini. Di putaran pertama, kuda berpacu hampir berbarengan. Di putaran kedua, mulai ada perbedaan jarak antara satu kuda dan kuda lainnya. Kuda berwarna merah semut terlihat di depan diikuti kuda putih. Pekik penonton menggema di Kubu Gadang. Di putaran ketiga, kuda putih menyalib kuda merah semut. Kembali pecah pekik penonton. Di putaran akhir, kuda merah semut menang, mencapai garis finish paling dulu.
Usai babak pertama. Pedagang asongan sibuk menawarkan dagangannya pada penonton. Aku melirik es cendol yang yang dibawa pedagang dekat kami. Ayahku menawarkan cendol pada aku dan kakakku.
"Nio cindui kalian?"
"Iyo, Pa!"
Ayah membeli tiga kantong plastik es cendol, untukku, untuk kakakku dan untuk ayah.
Babak demi babak berlalu. Akhirnya tibalah pacuan terakhir perebutan juara diikuti juara-juara di babak penyisihan. Kuda merah semut menjadi juara. Piala diarak berkeliling arena pacuan kuda.
Usai sudah pacuan kuda. Ayah mengajak kami makan di restoran. Terhidang sejumlah masakan lezat di meja kami. Ada gajeboh, dendeng, rendang, ayam goreng, kuah ikan mas dan sayur daun singkong rebus. Aku makan dendeng. Sementara kakakku makan gajeboh. Ayahku makan ikan mas kuah. Usai makan petugas restoran mencatat makanan yang kami makan di atas kertas. Terlihat matanya memperhatikan makanan yang ada di meja dan mencatat semua yang kami makan. Petugas rumah makan memberikan secarik kertas itu pada ayahku. Ayahku memeriksanya. Sebentar saja ayah memeriksa dan terlihat tidak ada kekeliruan. Kami meninggalkan restoran setelah ayah membayar makan kami itu.
Kami menuju pasar di belakang toko Hizra. Ayah menawarkan apa makanan yang akan dibawa pulang. Aku tidak meminta apa-apa, juga kakakku. Ayah akhirnya membeli dua kantong botiah dan sekantong gelamai. Kami pun pulang menumpangi lagi Oto Bahagia.
***
Ayah dan ibuku menjadi guru di SMP Dangung-dangung. Ayahku mengajar ilmu ukur sementara ibuku menjadi guru aljabar. Ayahku pandai menulis skenario drama, sementara ibuku pandai menjadi sutradara dan pelatih drama.
Suatu hari ada acara sandiwara pentas di SMP Dangung-dangung. Ayah dan ibuku mengajakku dan saudaraku menonton acara itu. Sandiwara berjudul Rambun Pamenan. Ibuku menjadi sutradara dan pelatihnya.
Yang kuingat pemeran utama prianya bernama Hafidz Wahyu. Orangnya ganteng, gagah namun menurutku dia berwajah lembut. Pemeran wanita utamanya aku lupa namanya. Ya, pastilah bintang di antara bintang di SMP Dangung-dangung masa itu.
Pertunjukan awal-awal adalah sederetan tarian Minang yang indah. Kemudian sederet pidato. Barulah mulai acara yang dinanti. Drama dimulai dengan pengenalan tokoh-tokoh. Tokoh muncul satu per satu dengan ekspresi dan ucapan singkat naumn kuat.
Aku tak terlalu ingat ceritanya dengan lengkap. Namun, seperti kisah zaman itu, sangat kental dengan kisah hitam putih. Seputar penindasan suatu pihak yang berkuasa kemudian berbalik pihak tertindas menuntut balas. Ada dipertontonkan adegan silat yang sangat bagus. Aku suka dialognya yang banyak berpantun-pantun. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Minangkabau.
Yang mengesankan juga di acara itu adalah aku bertemu dengan teman sebaya sesama anak guru. Aku ingat bertemu anak Bu Wahidarni Padang Kandi, anak Bu Syamsimar Ampang Godang, Anak Pak Suharmo Dangung-dangung, Anak Pak Yusrizal Ketinggian, anak Pak M. Yan Guguak, anak Bu Nurianis Padang Jopang, anak Pak Jamal Tayeh, anak Pak Ali Satar dan banyak lagi. Sebagian besar anak-anak guru ini kemudian menjadi temanku di SMA Limbonang kemudian.
Yang menarik lagi adalah penonton diberi beberapa potong kue yang dibungkus dalam kantong plastik. Masa itu terjadi di tahun 70-an akhir. Ketika kehidupan berjalan perlahan namun berirama penuh harmoni.
***
HUT Republik Indonesia selalu meriah di Kecamatan Guguak di masa tahun 1970-an. Suatu hari aku diajak ayahku menonton pawai di Dangung-dangung. Kendaraan ayah waktu itu adalah sepeda. Ayah memboncengku di sadel. Ayah mengikat kakiku di rangka sepeda di bawah sadel agar kakiku tidak sampai terjepit jejari roda sepeda sewaktu kami berkendara.
Ada pawai orang-orang berpakaian berbagai profesi, seperti petani, polisi, tentara, dokter, insinyur, ulama dan lain-lain. Ini membuka wawasanku tentang adanya profesi yang bermacam-macam. Ada juga pawai sepeda hias. Aku suka menyaksikan drum band. Aku melihat kekompakan tim dan keharmonisan dalam komando stick mayor agar gerakan dan musik sinkron.
Yang paling menarik adalah pawai alegoris. Di barisan terdepan ada orang seperti tokoh Soekarno. Orangnya gagah, tampan, berjas dengan dasi, berpeci dan berkaca mata hitam. Begitulah sosok Soekarno yang hidup di masyarakat. Soekarno dikelilingi oleh sejumlah istrinya yang cantik-cantik, seperti Bu Inggit Ganarsih dengan pakaian kebaya yang anggun, Bu Fatmawati yang keibuan, dan lain-lain sampai Ratna Sari Dewi dengan pakaian ala wanita Jepang. Di belakangnya diikuti dengan zaman orde baru. Pawai menampilkan bermacam-macam aspek pembangunan seperti kendaraan tempur dan pertanian.
Barisan berikutnya adalah orang berpakain berbagai negara. Ini memberikan kesadaran bahwa ada banyak bangsa di dunia ini.
Pawai alegoris berkandungan pendidikan juga hiburan. Aku suka!
***
Malam hari ayahku minta dipijit kakinya. Aku memijitnya dengan enggan karena aku juga lelah. Ayahku bertanya padaku,
"Setelah besar nanti kamu mau jadi apa?"
Aku berpikir sejenak. Aku telah melihat ayah menjadi guru, berkebun, memangkas rambut, melihat joki, dan terakhir banyak profesi diperlihatkan di pawai alegoris.
"Bermimplah setinggi langit, Nak!" kata ayahku tiba-tiba
"Aku mau jadi insinyur!" jawabku dengan semangat.
"Bagus!" kata ayahku.
Ayah kemudian tertidur. Aku menghentikan pijitan dan kemudian pergi ke kamarku. Pikiranku kembali ke pawai alegoris tadi siang. Deretan pawai yang panjang kembali tergambar dalam benakku. Namun, ya… sosok Soekarno lah yang paling membekas dalam benakku.
Aku mau seperti Ir. Soekarno! tekadku dalam hati.
Aku pun memeluk bantal guling dan membenamkan kepalaku ke bantal yang empuk. Tidurku dihiasi mimpi kanak-kanak yang indah.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar